
Gerakan Pendidikan Alternatif di Desa Bontonyeleng
Di sebuah desa bernama Bontonyeleng, suara angin yang berhembus lembut sore hari menjadi saksi lahirnya sebuah inisiatif pendidikan alternatif. SaESA (Sekolah Anak Desa) meluncurkan TALKs: Meluaskan Kesadaran, sebuah forum yang tidak hanya membahas sekolah, tetapi juga tentang masa depan anak-anak desa. Acara ini menunjukkan bahwa pendidikan bisa lebih dari sekadar bangku dan dinding kelas.
Gerakan ini muncul dari kekhawatiran akan kurangnya akses pendidikan bagi anak-anak desa. Terlalu banyak dari mereka merasa bahwa pendidikan adalah sesuatu yang tidak bisa diraih. Sistem yang terlalu mengandalkan angka dan gelar sering kali mengabaikan potensi yang ada di dalam diri setiap anak. SaESA hadir untuk memberikan solusi dengan memperlihatkan bahwa sekolah tidak harus dibatasi oleh dinding beton. Justru, ia bisa tumbuh di bawah pohon bambu, di halaman rumah, atau bahkan di ruang-ruang adat yang penuh makna.
Kegiatan yang Menghadirkan Gema Pendidikan
TALKs kali ini menyajikan berbagai aktivitas yang menarik. Ada diskusi publik bersama Stany Melisa, Membaca Hening dengan Rumah Buku SaESA, Di Bawah Suasana Daur Ulang Kertas bersama Siring Bambu, Workshop Zine oleh Gelar Zine Fest, hingga Ngobrol Prihal Seni bersama Muh. Alif Dermawan, Ketua Umum SSB Batugatumbing. Musik menjadi penutup acara, namun semangatnya tidak pernah berhenti. Dari pagi hingga senja, suara pendidikan terdengar jelas. SaESA menjadi ruang terbuka yang memungkinkan gagasan bebas berkembang, campur antara tawa, pertanyaan polos, dan harapan baru.
Roh SaESA: Pendidikan yang Bebas dan Merdeka
Pada tengah acara, seorang anak dari MTS Guppi Bontonyeleng bertanya dengan polos, “Acara apa ini, Kak? Bisa baca buku gratis?” Pertanyaan sederhana ini justru mencerminkan roh SaESA: pendidikan harus gratis, bebas, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Musakkir Basri, pendiri SaESA, menjawab dengan tegas bahwa kegiatan ini adalah cara untuk mengumpulkan orang-orang yang sadar. Pendidikan adalah senjata untuk menyelamatkan anak-anak desa dari jurang kesenjangan. Membaca di sini tidak memerlukan izin siapa pun. Siapa saja boleh memilih buku, lalu tenggelam dalam keheningan.
Dari TALKs Menuju SuarAsaESA
Semangat yang ditunjukkan oleh anak-anak desa itu menjadi penyemangat perjuangan. TALKs hanyalah awal dari sebuah perjalanan panjang. SaESA memperkenalkan SuarAsaESA, ruang untuk bersua, bersuara, dan me’rasa’ bersama mereka yang pernah dipaksa berhenti sekolah. Di ruang terbuka tersebut, kesadaran disebarkan seperti benih yang ditabur angin. Agustus kali ini bukan hanya bulan kemerdekaan, tetapi juga kelahiran sebuah gerakan. SaESA ingin SuarAsaESA menjadi pintu menuju kesadaran bahwa pendidikan adalah hak semua anak desa. Mereka percaya mimpi itu bukan utopia, tetapi bisa diwujudkan.
Obor Pendidikan Alternatif
SaESA telah menyalakan obor kemerdekaan sekolah alternatif. Sebuah cahaya kecil dari Bontonyeleng yang kini menyalakan harapan lebih besar. Pertanyaannya tinggal satu: apakah kita mau ikut menjaga cahayanya dan meluaskan kesadaran itu?
SaESA bukan sekadar sekolah, bukan pula sekadar forum diskusi. Ia adalah tanda bahwa di desa-desa, kesadaran sedang tumbuh, melawan sunyi, menyalakan obor kecil di tengah gelap. TALKs 2025 hanyalah permulaan—sebuah pijakan awal. Dari bambu yang bergemerisik di Bontonyeleng, dari suara anak yang bertanya polos, lahirlah keyakinan: pendidikan tidak boleh menjadi hak istimewa, melainkan napas yang bisa dihirup siapa saja. Dan mungkin, justru dari desa inilah, cahaya itu akan merambat, perlahan tapi pasti, meluaskan kesadaran hingga ke pelosok negeri.


Komentar
Tuliskan Komentar Anda!