
Anggaran Pendidikan yang Besar, Tapi Perlu Penyesuaian
Porsi anggaran pendidikan dalam APBN 2026 mencapai Rp757,8 triliun, yang merupakan angka terbesar sepanjang sejarah. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp223 triliun dialokasikan untuk program makan bergizi gratis. Sisanya dibagi lagi ke berbagai program lainnya. Meskipun anggaran besar ini menunjukkan komitmen pemerintah terhadap pendidikan, perlu dilakukan reorientasi agar makna pendidikan benar-benar diwujudkan.
Secara substansi, kerangka kehidupan bernegara harus didukung oleh kepentingan bersama untuk memastikan potensi sumber daya manusia dapat berkembang. Melalui pendekatan ini, sektor pendidikan dan kesehatan seharusnya menjadi prioritas utama dalam pembangunan. Hal ini sesuai dengan teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, di mana pemenuhan kebutuhan fisiologis seperti konsumsi pangan adalah dasar dari segala kebutuhan. Pepatah “hungry people become angry people” mengingatkan kita bahwa kelaparan bisa berdampak pada stabilitas sosial.
Diperlukan kebijakan yang jelas dan berbasis bukti agar program-program yang bertujuan mulia tidak hanya menjadi proyek berdasarkan anggaran. Ini adalah soal masa depan generasi bangsa. Nelson Mandela pernah menyatakan bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. Oleh karena itu, pendidikan harus diberikan secara merata dan efektif.
Masalah stunting, gizi buruk, dan kelaparan adalah bukti gagalnya kebijakan dalam menyentuh kelompok miskin. Prinsip "no one left behind" harus menjadi pedoman dalam merancang skema kegiatan bagi mereka yang tertinggal. Keterkaitan antara perut kosong dan hilangnya konsentrasi siswa dalam belajar menjadi pertimbangan penting. Namun, penerapan program intervensi makan harus melalui uji publik mendalam sebelum dijalankan secara agresif.
Dalam berbagai laporan, ada beberapa kendala yang perlu diperbaiki. Misalnya, variasi menu yang kurang bervariasi, risiko keracunan, hingga makanan yang tersisa. Program ini perlu disesuaikan agar lebih realistis dan bertahap, mengingat ketersediaan anggaran serta luasnya target sasaran.
Pendidikan sebagai mandatory spending, yaitu kewajiban penganggaran sebesar 20 persen dari APBN, memerlukan komitmen penuh dari pengambil kebijakan. Penelitian Esther Duflo, Abhijit Banerjee, dan Michael Kremer yang memperoleh Nobel 2019 tentang pendekatan eksperimental dalam pengentasan kemiskinan menarik untuk dipelajari. Salah satu lokus penelitiannya adalah Indonesia, dengan kebijakan yang diteliti adalah pembangunan sekolah Inpres. Temuan penelitian menunjukkan bahwa program di era 1970-an tersebut berhasil mengurangi kesenjangan, meningkatkan upah, dan memberikan dampak positif pada ekonomi.
Berdasarkan kajian Duflo, Banerjee, dan Kremer, penting untuk membentuk kebijakan yang terarah agar memiliki dampak efektif. Perspektif “memberi kail bukan sekadar ikan” perlu menjadi pertimbangan agar menciptakan efek kemandirian dalam jangka panjang.
Program distribusi makan gratis bagi pelajar tentu memiliki dampak positif dan menciptakan multiplier effect dalam rantai pasok. Namun, sesuai temuan para peneliti, upaya mengatasi kemiskinan tidak bisa dilakukan secara tunggal. Oleh karena itu, proporsi anggaran perlu disesuaikan, terlebih jika sudah terkait dengan anggaran pendidikan yang sebelumnya sudah memiliki beban berat.
Socrates pernah menyebut pendidikan layaknya menyalakan api, yang membangun kesadaran sebagai insan manusia. Dengan pemahaman ini, kita patut menyebut bahwa janji politik terbesar negeri ini, yang termuat dalam konstitusi, adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan berkualitas akan berkontribusi pada keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan.


Komentar
Tuliskan Komentar Anda!