
Aliansi Pendidikan Indonesia Soroti Tekanan terhadap Keluhan Program Makan Bergizi Gratis
Aliansi Pegiat Pendidikan Indonesia mengungkapkan kekhawatiran terkait adanya tekanan terhadap guru, siswa, dan orangtua yang ingin menyampaikan keluhan terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG). Praktik ini dinilai berbahaya karena menutup ruang partisipasi yang sehat dalam sistem pendidikan. Menurut Santoso, Direktur Article 33 Indonesia dan perwakilan dari Aliansi, ada indikasi pihak sekolah diminta untuk diam ketika muncul masalah dalam pelaksanaan MBG.
“Sistem pendidikan yang sehat harus transparan, terbuka terhadap umpan balik, dan akuntabel,” ujarnya dalam pernyataannya. Ia menekankan bahwa pembungkaman suara hanya akan memperburuk kualitas program. Keluhan dari lapangan seharusnya menjadi bahan evaluasi, bukan ditutupi.
Kritik Terhadap Manajemen Berbasis Sekolah
Santoso juga mengkritik lemahnya prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam konteks program MBG. Dengan program yang dikendalikan secara terpusat, sekolah kehilangan ruang untuk mengelola dirinya sendiri. “Selama ini MBS menjadi dasar otonomi sekolah agar lebih mandiri. Namun dengan model program MBG, peran itu diambil alih oleh pihak luar. Sekolah hanya menjadi pelaksana instruksi tanpa bisa menentukan apa pun,” ujarnya.
Masalah ini membuat guru dan kepala sekolah terbebani tugas-tugas administratif tambahan, seperti mengurus distribusi makanan, menghitung nampan, hingga mengelola sisa makanan. Hal ini jelas mengganggu fokus utama mereka dalam proses pembelajaran.
Masalah Serius Keamanan Pangan
Selain persoalan tata kelola, program MBG juga menimbulkan masalah serius dalam hal keamanan pangan. Data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat sedikitnya 8.649 kasus keracunan siswa di berbagai daerah hingga akhir September 2025, diduga terkait makanan MBG. Kasus terbesar terjadi di Bandung Barat, Sumedang, dan Banggai Kepulauan.
“Keracunan massal di sekolah bukanlah insiden biasa, melainkan tragedi. Sekolah berubah dari ruang aman menjadi sumber risiko,” ujar Santoso. Aliansi menyebut kondisi ini sebagai bencana buatan manusia yang mencederai hak anak untuk tumbuh dalam lingkungan pendidikan yang sehat. Jika dibiarkan, trauma dan kecemasan akan terus membayangi siswa maupun orangtua.
Evaluasi dan Penghentian Sementara Program
Atas dasar itu, Aliansi menilai pemerintah tidak bisa menutup mata. Evaluasi menyeluruh harus dilakukan, dan jalan terbaik adalah dengan menghentikan sementara program MBG. “Kerugian finansial tidak akan sebanding dengan nyawa atau kesehatan siswa yang terancam,” kata Santoso.
Penghentian sementara ini bukanlah penolakan terhadap gagasan makan bergizi gratis, melainkan upaya menyelamatkan ekosistem pendidikan. “Niat baik harus dijalankan dengan desain yang tepat, bukan dengan cara yang justru melemahkan sekolah,” ujarnya.
Desain Ulang Program MBG
Menurut Santoso, desain ulang program MBG perlu memberi ruang bagi sekolah dan komunitas untuk mengelola program sesuai konteks lokal. Selain itu, peran kementerian yang memahami dunia pendidikan harus diperkuat, serta menjamin transparansi dan akuntabilitas publik.
Aliansi Pegiat Pendidikan Indonesia terdiri dari berbagai tokoh, lembaga, dan pemerhati pendidikan dari lintas organisasi. Saat pernyataan sikap ini dikeluarkan, tercatat 66 orang pegiat dan pemerhati pendidikan terlibat, mulai dari perwakilan lembaga riset, organisasi masyarakat sipil, hingga orangtua murid. Beberapa di antaranya adalah Inspirasi Foundation, JPPI, Wahid Foundation, The SMERU Institute, Plan Indonesia, serta akademisi dari Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Diponegoro.


Komentar
Tuliskan Komentar Anda!